Kamis, 04 Agustus 2011

PLURALISASI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTUR DI INDONESIA

            Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Walaupun bagi bangsa kita kemajemukan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan —sebagaimana yang dialami bangsa-bangsa lain— tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merapakan persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai konflik yang dikategorikan sebagai berbau SARA, yang pernah terjadi di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak dipedulikan dan atau tidak diberi perhatian serius. pluralisasi merupakan suatu hal yang tidak mungkin kita hindari, tetapi kita sebagai bangsa yang besar harus sekuat tenaga menjadikan pluralisasi sebagai asset bangsa bukannya media yang dapat memecahbelah kehidupan masyarakat, sosial dan keagamaan.
           
 Peter L. Berger dalam Evers (1988), menggambarkan dengan jelas perbedaan antara masyarakat kuno dan masyarakat modern. Dikatakan, bahwa masyarakat kuno (sering dinamakan masyarakat dengan kebudayaan sederhana) bersifat terintegrasi tinggi dan tetap bersatu (istilah lain adalah homogen) dalam keteraturan agama. Karena masih sederhananya alat-alat transport dan komunikasi maka hubungan antar masyarakat kuno itu terbatas. Sebaliknya—menurut Berger—masyarakat modern mengalami proses segmentasi atau pluralisasi, sering juga dinamakan diferensiasi. Setiap segmen dari masyarakat harus berhubungan dengan segmen-segmen lain untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Masyarakat modern dapat tetap terintegrasi dalam pola interpendensi, bahkan multidependensi. Dikatakan, bahwa pluralisasi itu terjadi di dalam dunia kehidupan pribadi manusia dan juga pada lingkungan umum. Kedua-duanya harus hidup bersama dalam suasana yang selaras dan serasi. Pluralisasi kedua bidang tersebut selalu ditemukan dalam pengalaman modern: Pengalaman kehidupan kota dan pengalaman komunikasi massa modern. Sejak munculnya pada zaman kuno, kota telah merupakan tempat pertemuan orang-orang dan kelompok-kelompok yang berbeda-beda, jadi, kota merupakan pertemuan dunia-dunia yang berbeda. Sesuai dengan strukturnya, kota mendorong penduduknya menjadi “berbudi” (“urbane”) dengan menghormati orang asing, serta “canggih” dalam pendekatan berbagai realitas yang berbeda. Modernitas dalam setiap masyarakat dimengerti sebagai pertumbuhan kota-kota secara besar-besaran. Jadi dengan demikian urbanisasi tidak saja berarti pertumbuhan fisik komunitas tertentu dan pembangunan berbagai pranata yang khas bersifat kota. Urbanisasi juga berarti sebuah proses dalam tingkat kesadaran yang tidak terbatas pada komunitas yang dapat dengan tepat dirancang menjadi kota. Menurut Berger, urbanisasi kesadaran ini banyak dipengaruhi oleh media, dimana akibatnya gaya hidup (termasuk gaya berpikir, perasaan, realitas pengalaman yang bersifat umum) yang sekaran ini menjadi standar di masyarakat dapat saja menjadi sifat seseorang yang tetap tinggal di kota kecil.
Dalam hubungannya dengan proses sosialisasi, berger melihatnya sebagai berikut :
1. Pluralisme telah memasuki berbagai proses sosialisasi primer, yaitu dalam proses berlangsungnya pembentukan dasar kepribadian dan dunia subjektif pada masa kanak-kanak
2. Pluralisme juga juga terjadu pada proses sosialisasi sekunder pada masyarakat modern, yaitu sosialisasi yang berlangsung setelah awal pembentukan diri.

Namun dikhawatirkan oleh Berger, bahwa pluralisasi dunia kehidupan itu menimbulkan rasa disorientasi dan kebingungan yang dinamakan homeless mind. Rasa yang demikian itu mungkin timbul dalam masyarakat-masyarakat yang caranya mengagungkan kehidupan ekonomi sudah sedemikian dominan dibanding dengan kehidupan di bidang lain, sehingga semangat untuk mendapatkan keuntungan uang atau benda menyingkirkan segala pertimbangan lain. Karena itu individualisme berkembang dengan suburnya sehingga menutupi nilai-nilai sosial lainnya, termasuk nilai-nilai yang mengikat para anggita keluarga sebagai kolektfitas yang terkuat untuk menghadapi masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Meskipun pluralisasi atau diversifikasi sosial sudah tampak gejalanya di kota-kota Indonesia, namun ikatan kekeluargaan, bahkan ikatan kesukuan dan kedaerahan masih dapat bertahan dengan kuat terhadap desakan individualisme dan timbulnya homeless mind. Betapapun kuatnya hasrat masyarakat Indonesia untuk membangun ekonomi nasionalnya samapi taraf setinggi mungkin, namun tata hidup yang dijiwai dengan nilai-nilai kekeluargaan tidak akan mudah dilepaskan. Mungkin istilah “the homeless mind” yang menggambarkan pola sikap hidup tidak berakar dalam bumi sesuatu masyarakat dapat diganti dengan “the universal mind” yang lebih mementingkan sifat persamaan pola pikir dan pola bersikap hidup umat manusia diseluruh dunia. Dalam tulisannya Berger Melihat bahwa ideologi pluralisme secara luas berfungsi melegitimasi pluralitas pengalaman sosial, koeksistensi berbagai dunia sosial yang berbeda seringkali tidak sesuai satu sama lain secara luas dilegitimasikan oleh berbagai nilai seperti “demokrasi” dan “kemajuan” (Progress). Kita tidak ingin menyangkal kesungguhan kepercayaan akan ide-ide tersebut maupun kemungkinan bahwa dalam beberapa kasus ide-ide tersebut mempunyai akibat-akibat sosial yang objektif. Bagaimanapun juga, secara sosiologis memandang pengalaman pluralitas sebagai sesuatu yang berlangsung mendahului ide-ide pokok pemberi legitimasi tampaknya lebih persuasif. Apa pun ideologi yang ditawarkan, setiap masyarakat modern harus menemukan jalan untuk sampai pada proses pluralisasi. Sangat mungkin hal tersebut memerlukan sejumlah legitimasi, paling tidak suatu langkah pluralitastertentu.
Selain itu menurut Berger kehidupan menjadi sumber utama bagi identitas. Kebanyakan keputusan hidup yang konkret dibuat sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan keseluruhan rencana kehidupan. Tetapi rencana kehidupan tersebut bersifat terbuka dan seringkali dinyatakan dalam cara yang tidak menentu. Oleh karena itu, selalu tetap terancam frustasi. Jika rencana kehidupan diungkapkan secara pasti, maka relevansi keputusan tertentu dengan rencana yang besar seringkali bersifat ragu-ragu dan menjemukan serta mencemaskan. Jika sebaliknya, bila rencana tersebut menjadi tidak jelas, maka mungkin terdapat kecemasan dalam wujudyang berbeda: individu secara samar-samar mengetahui bahwa seharusnya ia mempunyai rencana tertentu, dan kini ia merasa cemasdan frustasi karena kenyataan bahwa ia benar-benar tidak dapat mengungkapkan apa yang seharusnya bisa ia lakukan. Semua atau sebagian besar rencana tersebut bersifat jangka panjang. Oleh karena itu membutuhkan kemampuan tinggi untuk menunda kepuasaan. Agar rencana tersebut dapat berjalan, individu harus menanti dan menagguhkannya. Hal ini menimbulkan berbagai kecemasan dan frustasi tambahan.
Berhubungan dengan gaya kognitif dalam kehidupan jangka panjang, Berger menekankan padaaspek multi-relasionalitas. Tetapi penekanan tersebut sekarang harus dengan penuh empati mencakup baik diri sendiri maupun orang lainnya. Riwayat hidup seseorang dimengerti olehnya sebagai sebuah proyek terpasang (esigned projects). Proyek terpasang tersebut mencakup identitas. Dengan kata lain, rencana kehidupan jangka panjang seseorang tidak hanya mencakup rencana tentang ia akan menjadi apa. Dalam kasus individu yang mempunyai kepribadian menonjol diantara satu sama lain, proyek-proyek tersebut saling tumpang tindih, baik dalam pengertian karir-karir maupun dalam identitas-identitas yang direncanakan. Seorang individu merupakan bagian dari proyek orang lain dan juga sebaliknya.
Keluarga dan khususnya hubungan perkawinan menduduki posisi istimewa dalam halproyek bersama seperti perkawinan menduduki posisi istimewa dalam proyek bersama seperti itu. Hal tersebut akan segera menjadi jelas bila seseorang memahami bahwa identitas, seperti juga aktivitas, merupakan bagian dalam rancangan itu. Identitas modern menurut Berger, secara khusus bersifat terbuka. Tanpa diraguan lagi, dalam diri individu terdapat hal-hal tertentu yang sedikit banyak tetap seimbang pada bagian akhir sosialisasi primer, meskipun individu modern bersifat “belum selesai” padasaat ia memasuki kehidupan dewasa. Tampaknya tidak saja ada kemampuan objektif yang besar untuk mentransformasikan identitas ke dalam kehidupan dewasa, melainkan juga ada kesadaran dan bahkan kesiapan subjektif untuk transformasi tersebut. Individu modern tidak saja “mudah melakukan perubahan” (“conversionprone”), melainkan juga mengetahui dan merasa bangga dengan perubahan itu. Identitas modern mempunyai perbedaan-perbedaan khusus.
Karena pluralitas dunia sosial dalam masyarakat modern, struktur masing-masing dunia dialami sebgaai struktur yang relatif tidak stabil dan tidak dapat dipercaya. Individu pada sebagian besar masyarakat pra-modern hidup dalam dunia yang lebih terpadu. Oleh karena itu, baginya dunia kelihatan kokoh dan tidak mungkin dielakkan. Sebaliknya, pengalaman individu modern dalam pluralitas dunia sosial merelatifkan setiap dunia sosial itu. Akibatnya, tatanan kelembagaan mengalami kehilangan realitas tertentu. Identitas modern secara khusus diindividualisasikan. Individu yang memiliki identitas sebagai ens realissimun, secara sangat logis mencapai kedudukan penting dalam hirarki nilai.
Kebebasan individu, otonomi individu, dan hak-hak individu diterima begitu saja sebagai keharusan moral yang sangat mendasar. Dan yang terpenting diantara hak-hak individu dalah hak untuk merencanakan dan menentukan kehidupannya sebebas mungkin. Hak-hak dasar ini secara terinci dilegitimasikan oleh bercam-macam ideologi modern, baik dalam struktur kelembagaan maupun dalam struktur kesadaran.
Pluralitas dunia-kehidupan sosial mempunyai pengaruh yang penting dalam bidang agama. Sepanjang sebagian besar umat manusia yang adasecara empiris, agama telah memainkan peranan penting dalam memberikan tirai simbol-simbol yang melingkupi segalanya bagi integrasi masyarakat. Beraneka macam makna, nilai, dan kepercayaan yang ada dalam suatu masyarakat akhirnya “dipersatukan” dalam sebuah penafsiran menyeluruh tentang realitas yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia secara keseluruhan. Dari sudut pandang pandang sosiologi dan psikologi sosial, agama dapat didefinisikan sebagai struktur kognitif dan normatif yang memungkinkan manusia merasa “betah” tinggal di alam semesta ini. Fungsi tradisional agama seperti itu sangat terancam oleh proses pluralisasi. Berbagai sektor kehidupan sosial yang berbeda kini diatur oleh makna dan sistem makna yang sangat beragam. Bukan saja tradisi religius dan pranata yang mewujudkan tradisi religius tersebut semakin sulit mengintegrasikan pluralitas dunia-kehidupan sosial dalam sebuah pandangan menyeluruh, melainkan bahkan lebih mendasar, masuk akalnya definisi agama tentang realitas telah terancam dari dalam, yaitu dari dalam kesadaran subjektif individu itu sendiri. Dalam pluralisasi yang berkembang dengan pesat, individu dipaksa untuk mengambil pengetahuan orang lain, yang tidak mempercayai apa yang ia sendiri percayai, dan yang hidupnya didominasi oleh makna, nilai dan kepercayaan yang berbeda dan seringkali malah bertentangan. Akibatnya, lepas dari faktor-faktor lain dalam jalur pemikiran ini pluralisasi memiliki akibat yang mesekuarisasikan. Yaitu bahwa pluralisasi memperlemah kepercayaan masyarakat dan individu akan agama.
Dari segi kelelembagaan, akibat yang dapat dilihat dari proses pluralisasi ini adalah privatisasi agama. Dikotomisasi kehidupan sosial menjadi bidang umum dan pribadi telah menawarkan “pemecahan” atas masalah agama dalam masyarakat modern. Ketika agama harus “mengungsi” dari satu wilayah ke wilayah yang lain dala bidang umum, agama telah berhasil memelihara dirinya sebagai suatu perwujudan makna pribadi. Dari segi peikolosi sosial, kekuatan pluralisasi yang sama telah meruntuhkan status makna religius yang telah diterima begitu saja dalam kesadaran individu. Karena tidak ada konfirmasi sosial yang konsisten dan umum, definisi agama tentang realitas telah kehilangan sifatnya yang pasti dan malah merupakan suatu pilihan belaka.
Konsepsi hubungan antara pluralisasi dan sekularisasi ini sama sekali tidak menyangkal bahwa terdapat faktor-faktor lain yang mendorong sekularisasi dalam masyarakat modern. Meskipun masih dapat dipersoalkan apakah ilmu pengetahuan dan teknologi modern secara instrinsik dan tak terelakan bertentangan dengan agama, kiranya jelas bahwa demikianlah yang dianggap oleh banyak orang. Paling tidak sejauh misteri, magic, dan otoritas telah menjadi hal penting dalam regiositas manusia Isebagaimana dipertahan oleh Grand Inquisitor Dostoevsky), rasionalisasi kesadaran modern telah merusak sifat masuk akan dari definisi agama tentang realitas. Akibatnya, efek sekularisasi dari pluralisasi telah berjalan bersama-sama dengan berbagai kekuatan sekularisasi lainnya dalam masyarakat modern. Konsekuensi terakhir dari semua ini dapat dirangkum secara sangat sederhana: manusia modern telah menderita karena suatu kondisi “ketakberumahan” yang mendalam.

II. MASYARAKAT MULTIKULTUR INDONESIA

Dalam tulisannya yang disarikan pada bagian sebelumnya, ada beberapa hal yang disinggung oleh Berger, dkk. sebagai bagian dari pluralitas kehidupan social, antara lain kemajemukan budaya termasuk di dalamnya politik ekonomi, kemajemukan kehidupan beragama serta munculnya identitas individu dalam kehidupan social.
Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Walaupun bagi bangsa kita kemajemukan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan —sebagaimana yang dialami bangsa-bangsa lain— tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merapakan persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai konflik yang dikategorikan sebagai berbau SARA, yang pernah terjadi di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak dipedulikan dan atau tidak diberi perhatian serius.
Indonesia yang terbangun dari struktur negara bangsa (nation state) tak dapat menghindar dari keniscayaan kemajemukan (pluralisme). Sejarah telah menorehkan realitasnya melalui wujud kemerdekaan keindonesiaan sebagai hasil bahu-membahu dari kekuatan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini.
Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai : (1) Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya,mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama diantara sejumlah partai politik. (2) Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atauprimordial (Maskuri,2001).
Masyarakat plural seperti Indonesia selalu dihadapkan kepada persoalan politis dan sosial, yaitu bagaimana mencapai tingkat integritas bersifat nasional. Baik bersifat horizontal, yaitu hubungan antar warga negara yang berbeda latar belakang budayanya, maupun secara vertikal menghadapi berbagai macam bentuk hubungan dengan peimpinnya tidak mungkin dilepaskan dari keberadaan stratifikasi sosialnya. (Purwasito, 2003)
Pierre L. Van de Berghe dalam Purwasito (2003) mengemukakan bahwa masyarakat multikultural mempunyai beberapa karakteristik yang khas, sebagai berikut:
1.      Masyarakat terbagi dalam segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok latar budaya,  subbudaya yang berbeda.
2.      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer.
3.      Kurang adanya kemauan untuk mengembangkan konsensus antar anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang fundamental.
4.      Kurangnya kesadaran mengembangkan konsensus relatif sering menumbuhkan konflik antar kelompok subbudaya tersebut.
5.      Konflik bisa dihindari dan integrasi sosial dapat terjadi, tetapi dengan jalan relatif menggunakan paksaan ditambah adanya ketergantungan satu sama lain dalam bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik kelompok satu atas kelompok yang lain.

Keadaan yang sangat rentan dalam masyarakat multikultur tersebut, sulit kiranya, menurut van de Berghe, model analisis Emile Durkheim tentang adanya masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, yaitu adanya kelompok-kelompok yang didasarkan atas keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogeneous. Selain itu, pandangan Durkheim adanya diferensiasi fungsional atau spesialisasi yang tinggi terdiri atas berbagai lembaga kemasyarakatan, bersifat komplementer dan bergantung satu dengan lainnya. Maka, van de Berghe kurang yakin bahwa solidaritas mekanik maupun solidaritas organic dalam konsep Durkheim sulit dikembangkan dalam masyarakat multicultural. Nasikun, mengambil konsep van de Berghe, dan para ahli fungsionalis structural menyimpulkan bahwa dua landasan terjadinya integrasi masyarakat, meskipun menjadi sangat terbatas dalam masyarakat multicultural, setidaknya :
Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya consensus oleh sebagian besar masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, adanya berbagai macam anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai macam kesatuan social. Dengan adanya kesatuan social (cross-cutting affiliations) tersebut jika terjadi konflik dengan kesatuan social yang lain akan segera di netralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities). Konflik yang sering terjadi dalam masyarakat multicultural menurut Nasikun cenderung bersifat ideologis dan politis. Karl Marx justru melihat adanya factor ekonomi yang diperoleh nelalui produksi kerja. Pada tingkat ideologis, konflik yang terjadi dalam bentuk konflik antara system nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat sekaligus merupakan penganut dari ideology dari bermacam-macam kesatuan social. Sedangkan yang bersifat politis, terjadi dalam ranah pembagian status kekuasaan, sumber-sumber ekonomi. Yang bersifat ekonomis lebih jelasnya perebutan lahan produksi untuk menopang kehidupan., karena ialah yang menopang segala struktur social, konflik social yang menjadi dasar adanya perubahan social itu sendiri. Secara alamiah, ketika terjadi konflik, pihak-pihak yang berselisih akan mengikatkan dirinya secara cepat dengan dua cara:
1. Memperkokoh solidaritas, bentuknya sepertimembentuk organisasi kemasyarakatan, pertahanan bersama.
2. Memperkokoh identitas cultural yang menghadapkan dirinya dengan kelompok pesaing lain, misalnya dalam bidang pendidikan, organisasi social, ekonomi, politik, dan kelompok swadaya lainnya.
Konflik sosial dan ketegangan politik yangberlarut-larut saat ini, merupakan personifikasi faktadan realita bahwa bangsa ini memiliki keberagaman yangtak dapat diseragamkan. Thesa tersebut setidaknyaingin memberi gambaran bahwa phobia terhadap ancamandisintegrasi multidimensi yang sedang tersaji saat iniadalah wujud resistensi yang di dalamnya membawa nilai terhadap aksi politik kooptasi dan uniform(penyeragaman) yang dipertontonkan pada masa OrdeBaru. Kebijakan masa lalu yang mencoba menegasikarakteristik nilai-nilai dalam unsur-unsur pembentukpluralisme telah melahirkan pemberontakan nilai yang terekspresi lewat berbagai konflik dan dinamika yangada saat ini. Walaupun kita sangat meyakini bahwaperjuangan nilai tidaklah selalu melahirkan“pemberontakan”, di dalam “ pemberontakan” selalu adanilai yang ingin dicapai.
Bagaimana Indonesia mampu bertahan sebagai Negara Kesatuah yang integrative? Para penganut aliran konflik lebih percaya dengan pendekatan paksanaan dari suatu kelompok dominan atau kesatuan social yang dominan atas kelompok dan kesatuan yang lain. Ekonomi menjadi factor utama, dimana setiap orang saling bergantung dengan orang lain sehingga mereka saling membutuhkan untuk menciptakan kehidupan yang rukun dan aman. Paksaan tidak selamanya memberi rasa aman, justru sebaiknya akan membawa suatu masyarakat ke arah disintegrasi sebagaimana ditujukkan selama Pemerintahan Orde baru. (Purwasito, 2003)
Purwasito, memberikan gambaran bahwa integritas masyarakat Indonesia dalam paying Negara kesatuan Republik Indonesia, tidak lain adalah suatu kemauan para warga masyarakat untuk membangun suatu kultur yang baru, yang mungkin berbeda dengan kultur kelompoknya, yang kemudian menjadi pedoman dan kaidah dalam interaksi social bersama. Kultur baru, atau nilai-nilai dan norma-norma umum yang disepakatimenjadi kaidah masyarakat bukan sekedar retorika namun haruslah benar-benar dihayati dan dijadikan sebagai milik sendiri.. Untuk mencapai konsensus nasional, Nasikun mengutamakan sosialisasi.
Menghidupi dan menjalani kehidupan dalam sebuah negara seperti Indonesia, kita tak bisa berbuat lain kecuali menghidupi dan bahkan menikmati sebuah kemajemukan. Sejak awal para pendiri bangsa ini menyadari benar realitas seperti itu. Itulah sebabnya mengapa Pancasila dijadikan dasar negara; dan bineka tunggal ika menjadi sebuah semboyan yang acap dirujuk tatkala kita menjelaskan tentang keberagaman bangsa ini. Program pembangunan bertujuan menghadirkan masyarakat industri modern yang adil, makmur, dan lestari berdasarkan  
Pancasila. Usaha yang besar itu memerlukan waktu puluhan tahun, tatkala ilmu dan teknologi akan makin mempengaruhi kehidupan manusia. Masyarakat industri modern yang dicita-citakan itu dihadapkan pada bermacam-macam bahaya sebagai akibat masih adanya jurang yang lebar antara yang kaya dan yang miskin,adanya ketidakadilan, kurangnya partisipasi rakyat, kesenjangan antara pusat dan daerah, serta langkanya kesempatan kerja.
Bahaya seperti itu akan mengakibatkan antara lain: kegagalan total pembangunan; negara menjadi negara industri modern tetapi militeristis dan totaliter yangmenghancurkan peradaban manusia; ketidakstabilan politik dan terhentinya kehidupan ekonomi; kehancuran lingkungan hidup sebagai akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab terhadap sumber-sumber daya alam dan polusi.
Menyadari realitas kemajemukan itu dan adanya tugas besar bangsa kita dalam membangun masa depan, maka hubungan dan kerjasama antar umat beragama harus makin dikembangkan dan menjadi program yang berkesinambungan, baik yang dilaksanakan oleh umat beragama/lembaga-lembaga keagamaan maupun atas prakarsa Pemerintah. Untuk melaksanakan tugas besar tersebut dan demi menjaga agar kemajemukan dapat tetap terbebas dari virus disintegratif, selain pemantapan program-program dialog antar umat beragama, maka pengembangan wawasan yang inklusif penting dilakukan.
Wawasan inklusif adalah suatu pola pikir berciri non diskriminatif, yang memberikan kerangka di dalam mana semua kelompok dalam masyarakat tanpa memandang suku, agama, dan golongan dapat hidup bersama, bekerja bersama untuk membangun masa depan bersama yang telah baik, dengan tetap berpijak pada visi teologis yang diyakini setiap orang. Dengan demikian pemikiran inklusif adalah pemikiran yang ”mengakomodasi”, ”memberi tempat”, ”menghargai” kelompok lain dan sebab itu jauh dari sikap yang meniadakan kelompok lain atau sikap membenarkan.
Sudah jelas bahwa kita memang menghadapi masalah multi-kulturalisme atau multi-etnisisme. Semakin nyata bahwa dalam banyak bagian masyarakat Indonesia terjadi penegasan identitas kelompok etnis atau komunal. Semakin banyak penduduk yang memandang diri mereka sendiri sebagai suatu komunitas kultural tersendiri. Komunitas yang seringkali memiliki bahasa, agama, kekerabatan, dan/atau ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) sendiri, atau berbeda agama tetapi berbicara dalam bahasa yang sama. Banyak kalangan seperti ini yang cenderung memilik penilaian negatif terhadap anggota kelompok etnik lain.                        
Sementara semangat yang menggelora sejak dua tahun terakhir adalah demokratisasi, kita masih bertanya: Mungkinkah mengembangkan demokrasi dalam masyarakat multi-etnik?                    Yaitu, suatu sistem politik yang bebas dan berdaulat dengan lembaga-lembaga pembuatan keputusan demokratik dan dengan melibatkan semua kelompok etnik yang ada?
Sebagian ilmuwan sosial sejak lama bersepakat bahwa demokrasi yang stabil dan efektif hampir tidak mungkin muncul dalam masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok etnik yang berbeda, apalagi kalau masing-masing kelompok etnik itu memakai bahasa yang berbeda. Kelompok teoritis itu berpendapat bahwa pembuatan keputusan demokratik hanya bisa berjalan baik kalau perbedaan-perbedaan yang hendak diselesaikan melalui kebijakan publik itu tidak terlalu besar. Karena itu, walaupun demokrasi tidak mensyaratkan suatu masyarakat yang sepenuhnya homogen, kehidupan politik yang demokratis hanya bisa berlangsung kalau ada kesatuan dan konsensus sosial dan politik, paling tidak, minimum. Padahal, derajat kesatuan dan konsensus dalam masyarakat multi-etnik umumnya tidak bisa memenuhi syarat minimum itu (J.S. Mills dibahas dalam Lijphart, 1996).
Real-politik Indonesia menghadapkan kita pada dua hal berikut: Pertama, kemajemukan adalah bagian dari kehidupan politik Indonesia sejak merdeka. Perbedaan etnik dan komunal tidak bisa begitu saja dihilangkan. Pengalaman Orde Baru menunjukkan bahwa ketika fenomena multi-etnik dan multi-kultural itu diabaikan yang muncul adalah kebijakan ekonomi dan politik yang menghasilkan ketimpangan sosial-ekonomi. Kedua, pengalaman komparatif menunjukkan bahwa separatisme tidak menjamin munculnya unit politik yang homogen. Kemungkinan tetap besar bahwa dalam unit-unit wilayah baru itu akan tetap ada perpecahan.
Artinya, kita harus menemukan jalan agar kenyataan multi-kultural dan multi-etnis itu bisa dipertemukan dengan ideal demokrasi. Prospek demokrasi di Indonesia sangat tergantung pada cara kita menangani persoalan kemajemukan masyarakat itu. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah mencari cara bagaimana mengakomodasi realitas politik multi-kultural dan multi-etnik sehingga terbentuk perpolitikan yang berfungsi melayani kepentingan semua pihak.

2 komentar:

  1. pelangi terlihat indah karena terdiri dari berbagai warna, taman lebih menarik karena aneka jenis dan warna bunga..
    dunia menjadi indah karena perbedaan-perbedaan,

    BalasHapus
  2. Sands Casino Resort: $200 Million Casino Shaped with
    Sands casino, including more than 메리트카지노 600 slot machines and slot 바카라 machines, opens its doors to more than a dozen New Jersey 샌즈카지노 casino properties this week.

    BalasHapus